MAKASSAR, 1kata.com – Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan (dalam: pasal 7), bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) wajib menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup berkembang di masyarakat.
“Kenyataan di lapangan kewajiban tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan, sehingga muncullah persepsi negatif dari masyarakat atas kehadiran Satpol PP,” kata Wati, seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar, Selasa (9/8/2016).
Kesan yang muncul pada masyarakat adalah Satpol PP menjadi aktor utama yang hadir menampilkan praktek-praktek kekerasan dalam keseharian kita. Di Perkotaan, ia menggantikan dominasi militer dan polisi yang selama ini akrab dengan tindak kekerasan. Berbagai kekerasan dalam operasi penggusuran, penggarukan, razia kaum papa, telah menjadikan Satpol PP musuh utama rakyat miskin.
Hal tersebut muncul didasari sikap arogan dan angkuh yang diperagakan Satpol PP setiap berlangsung penggusuran atau penertiban, selalu diwarnai dengan adegan pengusiran paksa, pemukulan, menendang dan menganiaya warga masyarakat secara tak manusiawi.
Bahkan akhir-akhir ini, lanjut Wati, mereka sudah berani menampakan arogansi dan melawan terhadap aparat kepolisian bahkan membunuh aparat tersebut, sangat dikhawatirkan selain karena pengaruh minuman keras (miras), juga karena dalam sistem perekrutannya disinyalir merekrut kalangan premam.
Rekrutmen anggota Satpol PP yang tidak mempunyai standarisasi pada masing-masing daerah menjadikan pola kinerjanya tidak seragam. Sehingga ketika mengimplementasikan kinerja yang seharusnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, lingkungan, tingkat ekonomi, dan peran atasan.
Karena mayoritas anggota Satpol PP dari tingkat ekonomi dan pendidikan lapis bawah maka yang muncul adalah kecenderungan semangat ”premanisme”. Kewenangan yang dipunyainya berubah menjadi aroganisme ketika tindakan yang dilakukan menjurus pada brutalistis karena merasa mempunyai kewenangan sebagai “penguasa”.
Sumber: CR-09 | editor: m.hasyim